Covid-19 Dilihat dari Teori


Covid-19 Dilihat dari Teori

Covid-19 Dilihat dari Teori Kebutuhan Maslow

Oleh Trisnawati K MIKom
(Kaprodi Ilmu Komunikasi Institut Bisnis Muhammadiyah (IBM) Bekasi)

Pertama kali pandemi Covid-19 muncul di Wuhan, kita bangsa Indonesia tidak pernah membayangkan sama sekali bahwa akan mengalami keadaan yang serupa dengan di Wuhan. Banyaknya korban jiwa yang berjatuhan baik dari tenaga medis, masyarakat, bahkan pejabat pemerintahpun tak luput dari serangan virus Covid-19.
Saat melihat berita di televisi atau media sosial tentang situasi kota Wuhan, seakan kita bertanya dalam hati, begitu menakutkannyakah virus Covid 19? Kota Wuhan terlihat layaknya kota mati; jalanan sepi, perkantoran diliburkan, sekolah dan perkuliahanpun diliburkan, supermarket sepi, demikian pula mal-mal dan tempat hiburan. Keadaan ini hampir serupa seperti di film-film horor tentang zombie yang menyerang satu kota. Itu dulu, pemikiran kita yang melihat pemberitaan tentang situasi kota Wuhan.
Namun, tatkala pandemi itu mulai mewabah di Indonesia, sedikit demi sedikit keadaan di kota-kota Indonesia mulai menyerupai kota Wuhan. Pemerintah mengeluarkan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan PSBB transportasi. Perkantoran meliburkan karyawannya, membagi shift masuk kerja karyawannya, dan bahkan yang lebih menyedihkan adalah merumahkan karyawannya untuk batas waktu yang belum bisa ditentukan dan tanpa penggajian sama sekali. Sekolah-sekolah baik formal dan informal, mulai merumahkan siswa-siswanya, para guru dan para tenaga kependidikannya. Demikian pula dengan kampus-kampus. Semua beralih ke sistem, bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan kuliah dari rumah. Bahkan belanja dari rumahpun ditawarkan oleh jasa transportasi online.
Imbas terberat dari pandemi Covid 19 adalah banyak perusahaan yang melakukan kebijakan “merumahkan sementara” karyawannya sampai batas yang tidak ditentukan dengan tanpa gaji. Hal ini tentu mengganggu kegiatan perekonomian masyarakat dan bangsa Indonesia. Tercatat sekitar 8,1 juta pegawai hotel dan restoran di Indonesia di rumahkan, baik dengan tunjangan yang beragam kisaran jumlahnya dan bahkan tanpa tunjangan (https://www.cnbcindonesia.com).
Berdasarkan data dari Kemenaker 20 April 2020 (https://manado.tribunews.com) ada 84.926 perusahaan sektor formal yang merumahkan karyawannya, sedangkan untuk total jumlah pekerjanya sebanyak 1.546.208. orang. Sementara di sektor informal ada sebanyak 31.444 perusahaan yang terpaksa merumahkan pekerjanya dengan total jumlah sebanyak 538.385 orang. Dari data-data tersebut yang menarik perhatian adalah begitu banyaknya Sumberdaya Manusia (SDM) yang terpaksa menjadi pengangguran, baik SDM yang berpendidikan tinggi maupun yang tidak.
Masyarakat Indonesia saat ini benar-benar memerlukan pemenuhan kebutuhan fisiologis yang merupakan urutan terbawah dari piramida Kebutuhan Maslow. Salah satu kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan pangan. Sementara di satu sisi distribusi bahan pangan sedikit tersendat karena adanya PSBB transportasi. Kebutuhan fisiologis apabila tidak dapat dipenuhi, akan menimbulkan beberapa dampak buruk seperti sakit, kelaparan, kehausan dan bahkan tindak kejahatan. Orang akan melakukan kejahatan apabila kebutuhannya tidak terpenuhi, salah satunya adalah untuk memenuhi kebutuhan pangannya, baik untuk dirinya sendiri atau keluarga yang menjadi tanggungannya.
Selain itu dari piramida Kebutuhan Maslow yang mulai dirasa berkurang saat ini adalah kebutuhan rasa aman. Meningkatnya jumlah pengangguran sekarang ini, akibat dari sebagian perusahaan berhenti beroperasi dan mem-PHK karyawannya, menyebabkan sebagian masyarakat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hal ini menjadi salah satu penyebab meningkatkan aksi kriminalitas. Berdasarkan data dari https://m.liputan6.com bahwa angka kriminalitas meningkat sebanyak 11,8% dari sebelum pandemi Covid 19.
Masyarakat Indonesia saat ini tidak lagi begitu memikirkan pemenuhan kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri yang merupakan puncak kedua dan teratas dari piramida Kebutuhan Maslow.
Ada satu sisi positif dari pandemi ini, yaitu meningkatnya rasa solidaritas, empati dan jiwa sosial dari masyarakat yang mampu kepada masyarakat yang kurang mampu dan yang membutuhkan bantuan. Banyak aksi sosial berbagi kebutuhan bahan pokok pangan yang dilakukan berbagai komunitas dan lembaga-lembaga informal dan formal. Implementasi dari wujud rasa sosial ini merupakan tingkatan yang ketiga dari Kebutuhan Maslow, atau yang berada di posisi tengah dari piramida Kebutuhan Maslow. Terkadang di tengah musibah/bencana, masih ada satu sisi positif yang terdapat di dalamnya. Seperti firman Allah SWT yang terdapat di dalam QS 2;216 yang artinya “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”. Semoga pandemi ini cepat berlalu dari bumi Indonesia. ****