Dr. H. Jaenudin, S.Ag., M.Pd


Dr. H. Jaenudin, S.Ag., M.Pd

“Teruslah belajar apapun keadaannya”

Penulis : Sukwan Hanafi / APPTIMA

Jumat siang, Masjid Raya Bandung. Seusai mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, mengikuti Imam, tanpa sempat berpanjang doa, seorang pemuda tampak bergegas melangkah keluar masjid. Ia mengambil sebuah buntalan dan tas yang dititipkan di bagian luar tempat ibadah ini. Tengak-tengok sebentar dan akhirnya tersenyum menuju sebuah titik yang dianggapnya paling tepat untuk menggelar dagangannya. Atau setidaknya, hanya tempat itu yang masih tersisa sebagai lapaknya.

Sambil berjongkok, sejumlah buku-buku bertema islami mulai disusun rapi di hamparan plastik kecil, agar menarik perhatian para jamaah yang baru selesai melaksanakan ibadah Sholat Jumat. Ya, siang itu Jaenudin, nama sang pemuda, kembali mencoba peruntungan dengan mencari selisih rupiah dari penjualan buku yang diharapkan akan laris manis di masjid megah yang terletak di ibukota tanah Pasundan ini.

Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak‘, mungkin begitu perumpamaan yang tepat untuk Jaenudin hari itu. Belum selesai menggelar buku yang akan dijual, sekelompok pria berseragam Pemda mendatanginya. Ia terpaksa kembali mengemasi buku-buku yang sudah sempat dilirik-lirik oleh para jamaah yang keluar dari masjid, dan bergegas menjauh. “Diantara masjid yang pernah menjadi tempat berjualan saya, Masjid Istiqomah di belakang Gedung Sate Bandung. Masjid ini paling sering. Masjid Raya Bandung, saya pernah diusir trantib, dan masjid lain di sekitar bandung. Saya pernah juga menggelar dagangan di Masjid Islamic Center Bekasi, Masjid Raya Pondok Indah jakarta, Masjid Departemen Kehutanan dan banyak masjid lainnya,” kenang Jaenudin, yang saat itu masih tercatat sebagai mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin.

Perjalanan hidupnya memang berliku. Lahir sebagai anak kedua dari 4 bersaudara, Jaenudin menjalanani masa kanak-kanak hingga masa remaja di Desa Kawungsari, Cibingbin, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Sebuah kampung yang berarti banyak buatnya. Sebuah kampung yang akan hilang dengan dibangunnya Waduk Kuningan. “Hal paling berkesan bersama keluarga ketika masih kecil adalah mencari ikan kecil bersama ayah di kali untuk sekedar makan keluarga,” ungkapnya.

Di Desa Kawungsari melintas Sungai Cikaro, tempat Jaenudin mencari ikan bersama ayahnya, sekedar mendapatkan lauk, sebagai pendorong nasi agar tak hambar ditenggorokkan. Hampir setiap siang atau sore, ayah dan anak ini dipastikan sudah berada di sungai, sambil menggenggam ayakan, alat penangkap ikan atau saringan yang berbentuk bulat terbuat dari anyaman bambu. Dan menjelang petang mereka sudah beriringan pulang membawa ikan Banteur, ikan Jeuler atau udang kecil sebagai lauk untuk makan malam bersama keluarga. “Orang tua saya adalah guru agama SD negeri. Setiap pulang mengajar, beliau terus ke sawah merawat padi dan pulangnya membawa sayuran untuk makan sehari hari. Biasanya sambil membersihkan sayuran di sungai, beliau juga mencari ikan untuk teman sayuran makan keluarga. Dan saya sering ikut menemani ayah,” kenangnya.

Tohri, Ayahnya, adalah seorang guru Agama di sebuah SD Negeri, dengan golongan 1B di kampungnya. Ia menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) berbekal Ijazah PGA 4 tahun, atau setara dengan SMP. Pada slip gajinya tertera angka Rp. 72.000,- kala itu. Sederet angka yang sulit diandalkan untuk bisa membuat keluarganya hidup berkecukupan. Namun sebagai seorang guru, tentu pendidikan anaknya tentu lebih diutamakan. “Jadilah orang pemurah dan teruslah belajar apapun keadaannya,” sebaris pesan ayahnya, yang membuat Jaenudin terus berjibaku guna mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. “Ayah saya seorang pekerja gigih dan pantang menyerah,” kenang Jaenudin tentang sosok ayahnya.

Ketika menjadi murid SD Negeri Kawungsari, Matematika adalah pelajaran yang paling disukainya. dan selalu mendapatkan ranking kelas selama SD, prestasinya ini menjadi kenangan indah tak terlupakan bagi Jaenudin. “Hormati orang tua dan jangan perhitungan kepada orang tua,” sebaris pesan gurunya yang masih melekat dikepalanya. Untuk belajar agama, Suparni, ibunya tidak mau berlengah-lengah terhadap anak-anaknya. Bahkan ketika Jaenudin masih berusia 4 tahun, sang ibu sudah mengajarkannya mengaji dan membaca. “Ibu saya seorang pekerja keras, rela berkorban untuk anak-anaknya,” kenang Jaenudin, tentang sosok wanita yang melahirkannya ini.

Sewaktu SD, setiap awal bulan, ayahnya selalu membawa majalah Media Pembangunan, sebuah majalah terbitan Departemen Agama Kanwil Jawa Barat, yang dibawa ayahnya sehabis gajian. Kalau ayahnya pulang membawa majalah ini, Jaenudin lupa seolah dengan berbagai mainan dari tanah liat yang sering dibuatnya sendiri sehari-hari. dan mulai tenggelam dengan berbagai bacaan yang ada di majalah tersebut. Rasa penasaran Jaenudin kecil semakin tumbuh setelah membaca berbagai tulisan yang ada di majalah tersebut. Hal yang membuatnya penasaran adalah orang yang menulisnya. Ada yang bergelar BA, Drs, Dr, malah ada yang Proffesor. “Bu, saya mau nama saya ditambah dengan (gelar) seperti ini,” kenang Jaenudin, tentang pertanyaan polosnya kepada sang ibunda kala itu. “Kata ibu, saya harus kuliah yang tinggi,” sambungnya. Jawaban ibunya saat itu membuat Jaenudin spontan menjawan; Mau bu!

Selepas SD, Jaenudin meneruskan sekolahnya ke MTsN di kota Kecamatan Cibingbin, yang berjarak sekitar 20 kilometer dari rumahnya. Untuk menuju sekolahnya, ia harus berjalan kaki dulu sejauh 2 jam berjalan kaki menyusuri sungai dan jalan desa, kemudian naik angkutan pedesaan. Waktu itu ongkos untuk anak sekolah Rp. 50 Rupiah, kalau penumpang umum 150 Rupiah. Demi menghemat biaya, akhirnya Jaenudin kos dan masuk pesantren di Kota Kecamatan Cibingbin.

Ketika menjadi murid MTsN ini, ayahnya pernah menyarankan agar kelak melanjutkan sekolah ke Pendidikan Guru Agama (PGA) mengikuti jejak dan perjuangannya sebagai Guru Agama SD. Karena penasaran, Jaenudin bertanya kepada gurunya bagaimana cara mendapatkan gelar BA, Drs, Dr. atau Profesor. “Harus ke SMA atau Aliyah. Kalau ke PGA tidak bisa kuliah, karena harus masuk lagi Aliyah untuk penyetaraan,” Jaenudin mengulang jawaban gurunya kala itu. Berbekal keterangan gurunya ini, ia langsung menyampaikan kepada ayahnya tidak mau masuk PGA, karena tidak bisa kuliah. Ia sudah bulat dengan keinginannya; Kuliah! Agar namanya bisa bertambah panjang dengan memiliki gelar, seperti nama orang-orang yang pernah dibacanya di majalah yang dibawa ayahnya.

Tekadnya ini membawa Jaenudin melanjutkan sekolah di Madrasah Aliyah Negeri MAN Cigugur dengan mengikuti program khusus boarding, atau sekolah berasrama. Ia terpaksa mengabaikan permintaan ayahnya agar melanjutkan sekolah di PGA, karena memang niatnya adalah melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Maka selama menuntut ilmu di MAN, ia berusaha lebih tekun dan serius dalam belajar.

Akhirnya, niat yang menjadi cita-citanya tercapai. Tahun 1993, ia mulai menjejakkan kaki sebagai seorang mahasiswa baru di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati Bandung, jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuludin. Sebuah kebahagiaan yang tak terkira bagi Jaenudin. Namun kebahagiaannya ini juga langsung disambut dengan kondisi keuangan dari keluarganya. “Karena keterbatasan orang tua dalam hal biaya, saya hanya mendapatkan wesel Rp. 50.000 setiap bulan untuk biaya makan dan beli buku serta biaya transport. Makanya saya sering berpuasa Senin-kamis, bahkan pernah berpuasa terus-terusan, karena kalau tidak puasa pun makan hanya bisa 2 kali saja sehari. Mendingan puasa saja, makan sahur dan berbuka,” kenangnya tersenyum.

Mulai semester 2, Jaenudin sibuk berkeliling untuk mencari pekerjaan. Ke pabrik-pabrik hingga ke berbagai perusahaan, sampai akhirnya bertemu dengan agen koran Harian Umum Pikiran Rakyat di Ujungberung Bandung. Di tempat ini, Ia mulai mengantarkan koran kepelanggan sekaligus membesarkan agen koran yang waktu itu hanya punya 50 pelanggan. Gajinya sebagai loper Koran waktu itu 30 ribu Rupiah perbulan. “Salah satu pelanggan saya waktu itu adalah Bapak Dr. H. Dadang Kahmad, M.Si. Dekan saya di Fakultas Ushuludin. Waktu itu beliau belum menjadi Profesor,” ucapnya bangga.

Selain gaji, ia juga mendapatkan tempat kos, sekaligus mendapatkan makan dari agen Koran tersebut. Alhamdulillah, bisa menambah pendapatan dan cukup bagi Jaenudin agar bisa bertahan hidup dan biaya kuliah waktu itu. Setiap hari ia menggowes sepeda pada pukul 03.00 dinihari sampai pukul 06.00, berkeliling mengantarkan koran ke rumah-rumah pelanggannya. Setiap kali mendengar adzan Subuh, ia langsung membelokkan sepedanya ke halaman masjid atau mushalla yang dilewatinya. Sebagai pengantar koran, tentu Jaenudin tidak luput membaca dan memperhatikan berita dan isi koran yang dibawanya ini. Salah satu yang selalu dicarinya di halaman koran tersebut adalah iklan lowongan kerja. Dan ia pun mendapatkannya. Salah satu distributor buku-buku islami di kota kembang ini, sedang mencari agen pemasaran. Jaenudin langsung menyambut tawaran ini, apalagi di tempat kosnya sudah ada sambungan telepon, yang memudahkannya dalam memasarkan setiap pesanan buku, selain menggelar langsung dagangannya di siang hari atau di waktu luangnya di masjid-masjid se-antero kota Bandung, hingga ke Bekasi dan Jakarta. Dengan berjualan buku, dompetnya menjadi sedikit bertambah tebal. “Ketika Kuliah saya berjualan koran dan buku Islami. Suatu ketika saya mendengar ceramah Zaenuddin MZ. beliau mengatakan “Banyak orang sukses dimulai dari berjualan koran”. “Saya sempat terpikir apa saya mau sukses ya,” ungkapnya tertawa.

Dari hasil penjualan buku, Jaenudin akhirnya mempunyai uang untuk mendaftar kursus komputer. Bahkan akhirnya ia diminta mengajar di tempat kursus tersebut. Ia pun mulai profesi barunya sebagai seorang ‘cek gu’ dengan mengajar dari pagi hingga malam. Pundi-pundinya pun semakin menggembung. Namun karena kesibukannya mengajar, ia harus meninggalkan profesinya sebagai loper koran. Untunglah saat itu ia sudah menyelesaikan skripsinya dan tinggal menunggu waktu wisuda.

Suatu hari, seorang temannya datang teman ke tempatnya mengajar dan menawarkan bekerja di Jakarta. Di kantor Muhammadiyah. Tanpa menunggu lama, Jaenudin langsung mengiyakan tawaran tersebut, karena ia sudah mengenal Persyarikatan Muhammadiyah sejak aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Korkom IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Bergegas ia mendatangi Prof. Dr. Dadang Kahmad, Dekan Fakultas Ushuludin sekaligus pelanggan korannya dulu untuk meminta izin agar diperbolehkan membawa fotokopi Ijazah, karena ijazah aslinya belum boleh diambil sebab ia belum diwisuda. Berkat kemurahan hati dekannya ini, Jaenudin bisa langsung berangkat ke Jakarta sambil menenteng fotokopi ijazah yang diberikan oleh staff Tata Usaha kampusnya.

Di Jakarta, Jaenudin ditempatkan sebagai Sekretaris Eksekutif di sekretariat PP Pemuda Muhammadiyah dengan SK tertanggal 20 Juli 1998 dan berhak menerima gaji Rp. 200.000,- per bulan. Padahal waktu itu, ia sudah mengantongi Rp. 750 ribu Rupiah per bulan dengan mengajar kursus komputer. Tapi ia tak menyesali keputusannya ini. Bisa bekerja di kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah justru membuatnya bangga. Ia berharap suatu saat bisa melanjutkan kuliahnya, karena ia tahu Muhammadiyah memiliki banyak perguruan tinggi.

Sejak mulai bekerja di kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jaenudin langsung mendapatkan gelar Doktor alias ‘mondok di kantor’. Karenanya, ia sering punya kesempatan untuk mendengarkan kultum dari para petinggi Muhammadiyah ketika sholat Subuh atau dzuhur berjamaah. Salah satunya adalah Buya Syafii Maarif, yang ketika itu menjadi Ketua PP Muhammadiyah. Karena menguasai ilmu Komputer, Jaenudin langsung diperkenalkan oleh seorang kawan kepada sang Buya. “Suatu subuh, karena saya sudah doktor (mondok di kantor) setelah mendengarkan kultum Buya Syafii, saya diperkenalkan kepada buya oleh mas Wito yang mengatakan bahwa saya adalah anak Pemuda Muhammadiyah yang bisa komputer. Buya Syafii langsung meminta saya mengajarkan komputer kepada beliau. Saya kaget, karena yang meminta adalah Ketua Umum Muhammadiyah yang bergelar Professor,” terang Jaenudin bangga. Namun ia mengaku tak berendah diri, karena ia sendiri juga sudah bergelar doktor waktu itu, walau belum wisuda S1.

Pada tahun 2000, Jaenudin diminta untuk memperkuat Sekretariat PP Muhammadiyah setelah Muktamar ke-44 di Jakarta di bawah Sekretaris Eksekutif Drs. HM. Sudar Siandes, MM. Dan pada Muktamar tahun 2005 di Malang, Jawa Timur, ia dinobatkan menjadi Sekretaris Eksekutif, yang kemudian namanya diganti menjadi Kepala Kantor PP Muhammadiyah. Tahun 2001, Jaenudin berkesempatan melanjutkan kuliah S2. Ia sudah semakin dekat dengan gelar panjang yang pernah diidamkannya dulu. Dan gelar Doktor diperolehnya dari Universitas Negeri Jakarta Pada tahun 2020.

Tahun 2002, Pria asal desa Kawungsari Kuningan, yang sudah melewati beragam liku kehidupan ini, memutuskan untuk menghabiskan masa lajangnya dengan mempersunting Nanda Handayani, S.SiT, gadis pujaan yang menjadi jodohnya dan sekarang sudah menjadi ibu bagi kedua anaknya. Yang paling berkesan buatnya adalah ketika melangsungkan pernikahan di Jambi, Ketua dan Pengurus Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jambi turut mengantarkannya.

Tahun 2011, penggemar Tumis Toge Kedelai masakan ibunya ini mulai ilmu di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dengan menjadi dosen di STIE dan STIMIK Muhammadiyah Jakarta. “Pengalaman menyedihkan ketika awal-awal kali mengajar di Perguruan Tinggi Muhammadiyah adalah uang transport saya selalu abis untuk tips buat satpam dan petugas kampus lainnya,” ungkap Jaenudin tertawa. Namun di sisi lain, ia senang sekali berbagi ilmu di kepada para mahasiswanya. “Dengan mengajar di PTM terasa ilmu menjadi bermanfaat,” sambungnya.

Berbekal berbagai pengalaman yang penah dilaluinya, tahun 2019 pria yang sudah menyandang gelar lengkap Dr. H. Jaenudin, S.Ag., M.Pd pada namanya ini, dipercaya memimpin Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi, sebuah perguruan tinggi milik persyarikatan Muhammadiyah yang beralamat di jalan Sersan Aswan no. 16 Margahayu Bekasi Timur, Kota Bekasi, dengan jabatan sebagai rektor. Sebagai pimpinan tentu ia harus bisa menyelesaikan dan mengakomodasi segala persoalan demi memajukan kampus yang dipimpinnya ini. “Tantangan terberat setelah menjadi Rektor PTM bagi saya adalah mengkoordinasikan sifat dan karakter bawahan yang beragam,” ujar rektor yang hobi traveling ini.

Selain mengemban tugas sebagai pimpinan sebuah perguruan tinggi, Jaenudin tentu juga mempunyai tugas dan tanggung jawab lainnya, yaitu sebagai pemimpin bagi keluarganya. Sebagai seorang suami, sekaligus seorang ayah bagi Shativa Zaihan Muthmainnah, M. Rafi Zaihan Firmansyah, Hadania Zaihan Ashfiya dan Sahlan Zaihan Muhammad, keempat orang anaknya, ia harus pandai-pandai berbagi waktu untuk keluarga, diantara kesibukannya yang lain. “Tantangan setelah menjadi kepala keluarga adalah membagi waktu untuk keluarga dan social serta organisasi,” jelasnya. Apalagi mendidik anak-anaknya yang sudah memasuki usia remaja. “Saya bertekad semua anak saya dimasukkan ke pesantren,” sambungnya, tentang pendidikan bagi anak-anaknya.

Kepada mahasiswa yang sedang menimba ilmu dan mengejar masa depannya di perguruan tinggi, khususnya di Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi, Dr. H. Jaenudin, S.Ag., M.Pd berpesan agar mereka belajar dengan ikhlas, menghormati guru serta membangun koneksi yang baik. ke depan ia berharap Perguruan Tinggi Muhammadiyah dapat melahirkan SDM yang unggul dan berdaya saing. “Muhammadiyah sebagai organisasi besar harus membangun kemandirian dan memberikan sumbangsih buat bangsa dan ini sudah terjadi,” jelasnya.

Tentang dunia perbukuan di Indonesia, khususnya di pendidikan tinggi Rektor IBM Bekasi ini berpendapat diperlukan ciri khas pendidikan Muhammadiyah pada setiap karya atau buku, sehingga dapat mewarnai pendidikan di Indonesia. “Saya menargetkan satu dosen satu jurnal atau satu buku setiap semester,” tegasnya. “Solusi terbaik agar unit penerbitan kampus bisa berkembang dan mendorong minat menulis di lingkungan kampus adalah dengan memberikan reward kepada dosen yang menulis dengan sistem yang tertata,” pungkasnya.

Riwayat Pendidikan

  1. SDN Kawungsari Cibingbin Kuningan 1986
  2. MTsN Cibingbin Kuningan 1990
  3. MAN Cigugur Kuningan 1993
  4. IAIN Sunan Gunung Djati Bandung 1998
  5. Magister Administrasi Pendidikan UHAMKA 2011
  6. Doktor Manajemen Pendidikan UNJ 2020

Riwayat Pekerjaan

  1. 1994 sd 1997 Loper Koran HU Pikiran Rakyat Bandung
  2. 1997 sd 1998 Pengajar Koputer Bina Informatika Bandun
  3. 1996 sd 1998 Distributor Buku Islami Irsyad Baitussalam Bandung
  4. 1998 sd 2000 Sekretaris Eksekutif PP Pemuda Muhammadiyah Jakarta
  5. 2000 sd 2005 KTU Sekretariat PP Muhammadiyah Jakarta
  6. 2005 sd sekarang Kepala Kantor PP Muhammadiyah Jakarta
  7. 2011 sd sekarang Pengelola Apotek dan Klinik Pratama Rumah Sehat Keluarga di Bekasi
  8. 2012 sd 2014 Dosen di STIE dan STIMIK Muhammadiyah Jakarta
  9. 2012 sd 2018 Pengelola Gading Laundry specialit Hotel dan Rumah Sakit
  10. 2015 sd 2019 Wakil Rektor 1 IBM Bekasi
  11. 2019 sd sekarang Rektor IBM Bekasi

Riwayat Organisasi

  1. Ketua remaja Masjid Al-Hidayah Desa Kawungsari 1991 – 2000
  2. Anggota IMM Komisariat IAIN Sunan Gunung Djati Bandung 1996 – 1998
  3. PP Pemuda Muhammadiyah hasil resufle 2000 – 2002
  4. Ketua PRM Cimuning Mustikajaya Kota Bekasi tahun 2002 – 2005
  5. Ketua PCM Mustikajaya Kota Bekasi 2005 – 2010
  6. Wakil Ketua PDM Kota Bekasi 2010 – 2015
  7. Ketua DKM Masjid Al-Falaah Mustikajaya Kota Bekasi 2017 – 2020