Human as Capital


Human as Capital

Human as Capital Dalam Era Knowledge Ekonomi

Eva Fauziana
Dosen Program Studi Manajemen
Institut Bisnis Muhammadiyah (IBM) Bekasi

Pengertian Human Capital merujuk pada seluruh sumber daya yang dikontribusikan secara utuh untuk keberlangsungan organisasi. Sumber daya tersebut antara lain sumber daya fisik, knowledge, sosial dan juga reputasi atau image organisasi. Pada era industri, sumber daya manusia dihargai karena kekuatan dan ketahanan fisik manusia untuk mencapai target suatu organisasi atau perusahaan (DeNisi, 2001).

Saat ini, dunia industri dan lingkungan kerja telah memasuki era knowledge economy (Drucker, 1999 dalam Van Deventer, 2002). Di era knowledge economy, terjadi banjirnya informasi jauh melebihi yang dibutuhkan. Canggihnya sistem informasi dan telekomunikasi global via internet dan telepon selular mengakibatkan derasnya informasi yang diterima meskipun banyak dari informasi tersebut kurang diperlukan. Begitu banyak informasi yang ada, membuat para profesional tersebut harus mampu menyaring dan memanfaatkan informasi yang bermanfaat bagi solusi atas masalah yang dihadapinya. (Davenport & Prusak, 1997; Quintas, Lefrere & Jones, 1997, dalam Van Deventer 2002)

Karena itulah, dari para profesional atau worker tersebut, dituntut memiliki kemampuan untuk menyaring informasi yang didapatnya, kemudian mentransformasikan dan membagikan (sharing) tacit dan explicit knowledge yang telah ia dapat kepada kolega/rekan kerja lainnya. Di samping itu, para knowledge worker diharapkan mampu meningkatkan kemampuan inovasi serta mampu mensinergikan pengetahuan dan wisdom dari seluruh anggota tim yang dipimpinnya, sehingga bisa menghasilkan inovasi baru berupa jasa, produk atau bisnis proses.

Dengan kata lain, human capital readiness yang tinggi dan solid, memberikan kontribusi utuh pada pencapaian kinerja organisasi melalui kapasitas intelektual yang dimiliki oleh tiap knowledge worker yang bekerja di perusahaan tersebut. Selain itu, organisasi dapat memberdayakan secara maksimal aspek social skills yang dimiliki oleh para knowledge worker untuk menjaga dan mengembang-kan reputasi organisasi atau perusahaan.

Van Deventer (2002) juga merangkum pendapat Jooste (1997) dalam Wiig, et al, (1997) yang menyebutkan adanya dua kecenderungan utama yang mempengaruhi perkembangan knowledge economy, yakni globalisasi dan teknologi. Dalam era knowledge economy, diidentifikasi pula adanya perubahan pada aspek sebagai berikut:

Pentingnya keseimbangan hukum ekonomi digantikan oleh aspek knowledge dan informasi yang saat ini menjadi aset terpenting. Terminologi “bekerja” (work) sudah digantikan oleh pentingnya life-long learning atau proses belajar berkelanjutan. Pemahaman dan implementasi akan pentingnya sikap, peran, tanggungjawab serta jenjang karir berubah.

Konsep organisasi berubah. Organisasi yang hierarkis bergeser ke arah organisasi yang “flat” dan virtual.
Konsep produk berubah dan konsep layanan produk berkembang. Ekspektasi pelanggan pun berkembang terhadap produk dan jasa yang mereka gunakan, yaitu membutuhkan akses langsung terhadap produk/jasa yang mereka butuhkan dengan ketersediaan informasi yang lengkap.

Selain itu, Van Deventer (2002) juga merangkum adanya kecenderungan perubahan dalam dunia bisnis antara lain:
Kecepatan perubahan berakselerasi dengan cepat.
Dunia bisnis menjadi arena kompetisi yang teramat ketat.
Kompetisi bersifat sangat global.

Van Deventer (2002) juga merangkum pendapat Duffy (1997) yang memprediksi perubahan dunia industri akibat adanya evolusi knowledge economy:
Tidak ada lagi konsep life time employment.
Profesional, managerial, teknikal dan pekerjaan di area layanan jasa meningkat, sedangkan profesi sebagai klerk, operator serta buruh akan kurang dibutuhkan.
Teknologi yang lebih canggih, proses bisnis yang lebih baik, namun juga mengakibatkan terjadinya perngurangan jumlah tenaga kerja. Tenaga kerja yang tersedia adalah benar-benar dalam kategori trained workers.
Para profesional mulai menyadari adanya kebutuhan untuk selalu meningkatkan kompetensi mereka bukan hanya tuntutan perkerjaan semata namun kebutuhan tersebut lebih didasari pada tuntutan untuk memenuhi pengembangan pribadi dan karir mereka sendiri.
Para pekerja/professional muda menghadapi bahwa tanggungjawab mereka dan tuntutan pekerjaan lebih tinggi, sehingga dibutuhkan kompetensi yang tinggi serta jiwa yang independen dan tangguh (tough minded.)
Kompetisi global memaksa adanya peningkatan produktifitas di dunia kerja yang menjanjikan ketidakpastian.

Dalam kaitannya di masa pandemi global ini, tentu saja tuntutan kepada para knowledge worker menjadi lebih tinggi dan kompleks, tak hanya meningkatkan profesionalisme dan skills semata, tapi juga wajib mengembangkan jiwa intrapreneurship dalam pekerjaan mereka sebagai karyawan dalam perusahaan. Plus, kepandaian mengatur jam kerja selama masa WFH (Work From Home, bekerja dari rumah) sehingga produktivitas tetap terjaga, dan perusahaan serta karyawan sendiri, tetap bertahan hidup di masa sulit ini.

****